Welcom in shirotol jannah blog

Renungan SJ

Menjaga lidah

Dalam ajaran Islam, salah satu aspek pembahasan akhlakul karimah adalah menjaga lisan dan memperhatikan adab dalam berbicara. Bahkan banyak para ulama telah menulis tentang pentingnya menjaga lisan sekaligus memperingatkan bahwa ni’mat Allah ini bisa berubah menjadi bala bencana bagi pemiliknya.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata baik atau diam ( Bukhari dan Muslim)
“Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak amanah” ( HR Ahmad 19/376 no 12383 dengan sanad yang hasan). Karena memang, tidaklah seseorang menjaga lisannya kecuali karena keyakinanannya akan adanya malaikat Allah yang mencatat seluruh amalannya dan akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat kelak. Demikian juga tidaklah seseorang memuliakan tamunya kecuali karena imannya yang kuat bahwa allah akan membalas kebaikannya. Demikian pula tidaklah seseorang menjaga amanah kecuali karena imannya yang kuat dan keyakinannya bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabannya pada hari kiamat kelak.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menganugerahkan kepada manusia nikmat yang sangat banyak dan besar. Di antara nikmat Allah yang terbesar, setelah nikmat iman dan Islam, ialah nikmat berbicara dengan lidah, nikmat kemampuan menjelaskan isi hati dan kehendak.

Allah Ta`ala berfirman: "Allah yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Qur`aan. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara" [Ar-Rahmân/55:1-4]

Penciptaan manusia dan pengajaran berbicara kepadanya benar-benar merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang besar. Oleh karena itulah, Allah juga menyebutkan nikmat-Nya tentang penciptaan alat-alat berbicara bagi manusia. "Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir". [Al-Balad/90:8-9] [1]
Meski lidah merupakan nikmat yang besar, namun kita perlu mengetahui, bahwasanya lidah yang berfungsi untuk berbicara ini seperti senjata bermata dua. Yaitu dapat digunakan untuk taat kepada Allah, dan juga dapat digunakan untuk memperturutkan setan. Jika seorang hamba mempergunakan lidahnya untuk membaca Al-Qur`ân, berdzikir, berdoa kepada Allah, untuk amar ma`ruf, nahi munkar, atau untuk lainnya yang berupa ketaatan kepada Allah, maka inilah yang dituntut dari seorang mukmin, dan ini merupakan perwujudan syukur kepada Allah terhadap nikmat lidah.

Sebaliknya, jika seseorang mempergunakan lidahnya untuk berdoa kepada selain Allah, berdusta, bersaksi palsu, melakukan ghibah, namimah, memecah belah umat Islam, merusak kehormatan seorang muslim, bernyanyi dengan lagu-lagu maksiat, atau lainnya yang berupa ketaatan kepada setan, maka ini diharamkan atas seorang mukmin, dan merupakan kekufuran kepada Allah terhadap nikmat lidah.[2]

Dengan demikian, lidah manusia itu bisa menjadi faktor yang bisa mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam". [HR al-Bukhâri, no. 6478]

Alangkah banyak manusia yang menjaga diri dari perbuatan keji dan maksiat, namun lidahnya memotong dan menyembelih kehormatan orang-orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Dia tidak peduli dengan apa yang sedang ia ucapkan. Lâ haula wa lâ quwwata illa bilâhil-`aliyyil-`azhîm.

Sebagai contoh, ialah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam di bawah ini: "Dari Jundab, bahwasanya Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menceritakan ada seorang laki-laki berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni Si Fulan!" Kemudian sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman: "Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku, bahwa Aku tidak akan mengampuni Si Fulan, sesungguhnya Aku telah mengampuni Si Fulan, dan Aku menggugurkan amalmu". Atau seperti yang disabdakan Nab"i. [HR Muslim, no. 2621]. Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengkhawatirkan umatnya. Sungguh, dahulu para salaf terbiasa menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik.(jun)

http://shirotoljannahtravel.blogspot.com



 
Top of Form
Dua Sifat Orang Yang Berakhlak Buruk

Belakangan ini kondisi masyarakat kita kian memprihatinkan lagi. Bagaimana tidak, lihat saja sangat luar biasa trend acara televisi Indonesia pada belakangan ini. Betapa semakin merajalelanya reality show yang mengambil ide atas masalah orang lain dan menggunjingkan dengan ditonton segenap manusia. Hasilnya? Rating yang tinggi tentunya, sehingga banyak stasiun TV menganggap ini adalah berkah atas masalah orang. Topiknya? Subhanallah, sangat memalukan.
Padahal agama Islam sendiri  sangat mewanti-wanti masalah aib ini. Bahkan sudah jelas tentang balasan atas kesalahan menggunjing orang lain. Dan bagaimana dengan menggunjing diri sendiri dengan alasan ingin curhat ke orang lain (Seluruh Pemirsa?).
Allah menciptakan manusia, sangat lengkap dan berpasang-pasangan. Apabila ada bahagia pasti ada sedih, ada benci pasti ada sayang yang diterbitkan. Dan masalah/aib diciptakan adalah untuk kemandirian kita dalam menghadapi masalah, kekuatan dari komunikasi dengan keluarga dan kembalikan ke Allah bila menemukan jalan buntu, karena pasti ada jalan keluar jika bertafakur dari Allah, karena tidak ada masalah tanpa solusi.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Barang siapa yang menutupi keaiban orang Islam,maka Allah menutup keaibannya pada hari kiamat”.(hadist riwayat Muslim Abu Daud dan At-Tirmizi). Ataukah ini pertanda tidak baik pada bangsa kita, sehingga Allah menurunkan azabnya silih berganti? Wallahualam bishowab. Pergunjingan ini sebenarnya tidak saja di televise, tetapi juga bisa jadi ada disekitar kita, di komunitas kita, dimasyarakat perkotaan atau perdesaan atau dari orang-orang disekitar kita.
Untuk itu, sejogyanya kita selalu bermunajat kepada Allah agar kita selalu dijauhkan dari bahaya bergunjing atas aib-aib sendiri atau orang lain, dan selalu dilindungi dalam sisa perjalanan hidup ini menuju kampung akhirat kelak. Sungguh, bergunjing (Ghibah) dan iri hati (dengki, hasad) adalah dua sifat orang yang berakhlak buruk atau berbudi pekerti tercela (akhlakul mazmumah).
Sebaliknya, orang berakhlak mulia (akhlakul karimah) tidak akan memikiki kedua sifat atau sikap tersebut. Dikisahkan, pada malam Isra’ –dalam rangkaian peristiwa Isra Mi’raj– Nabi Muhammad Saw melewati suatu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka sendiri dengan kukunya. Nabi Saw bertanya kepada Malaikat Jibril yang mendampinginya waktu itu, “Apa itu Jibril?”. Malaikat penyampai wahyu Allah itu menjawab, “Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesamanya (ghibah)”.
Ghibah adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi. Allah SWT mengibatakan ghibah dengan “memakan daging mayat saudara sendiri” (Q.S. al-Hujurat:12).
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Meskipun kejelekan atau kekurangan orang lain itu faktual, benar-benar terjadi alias sesuai dengan kenyataan, tetap saja itu ghibah.
Contoh ghibah banyak sekali. Bahkan ketika kita mengatakan “pendek amat orang itu” misalnya, itu termasuk ghibah. Diriwayatkan, ketika Siti Aisyah memberikan isyarat dengan tangannya tentang seorang wanita yang pendek, Rasulullah Saw bersabda, “Kamu menggunjingnya?”.
Ghibah termasuk akhlak tercela. Tersirat di dalamnya perbuatan tercela lain seperti sombong, merasa diri paling baik dan benar, serta menghina orang lain. Ketercelaan ghibah dapat dirasakan betapa tersinggung perasaan kita, atau sakit hatinya kita, bahkan betapa marahnya kita, jika kejelakan dan kekurangan kita dibicarakan orang lain.

http://shirotoljannahtravel.blogspot.com



Pemilik Harta Benada Kita

Tidak bisa dipungkiri, dalam kehidupan dunia kita selalu dikelilingi oleh hal-hal atau benda-benda yang kita klaim sebagai milik kita. Seperti keluarga, rumah, pekerjaan, panca indera, harta, ilmu pengetahuan, keahlian, dan lain sebagainya semua kita sebut sebagai milik kita. Bahkan lebih gawatnya lagi, meski sudah memiliki hal itu, keinginan terus memiliki semakin besar. Tapi benarkah itu semua milik kita? Sejak kapan semua itu menjadi milik kita?
Memang berbagai perangkat keduniaan semisal surat-surat resmi bisa menjadi bukti bahwa keluarga, pekerjaan, tanah, dan sebagainya itu adalah milik kita. Namun sadarkah kita bahwa status kepemilikan kita adalah pemilik nisbi. Sebab pemilik mutlak dari segala sesuatu hanyalah Allah SWT. Bahkan, diri kita yang lemah ini pun adalah milik-Nya.
Ini menjadi hal yang sering kita atau dilupakan oleh kita. Kita sering lupa bahwa kita bukanlah pemilik mutlak, sampai-sampai kita bersikap seolah-olah kitalah pemilik sepenuhnya segala hal yang kita anggap milik kita. Sehingga, kita memperlakukannya sesuai dengan selera dan nafsu duniawi kita, bukan disesuaikan dengan keinginan sang pemilik mutlak, yaitu Allah SWT.
Misalnya saja dalam memperlakukan harta yang ada. Sering lupa bahwa ia hanyalah titipan dari Allah SWT. Dan sesungguhnya di balik semua itu sebenarnya ada tanggung jawab, ada amanah, bahkan ada sebagian darinya milik orang lain yang harus kita salurkan kembali. Bukankah kala pertama kali menyebarkan Islam di Makkah, salah satu misi Nabi Muhammad SAW adalah memberantas sikap ketergantungan kepada materi yang menjangkiti masyarakat Arab pada waktu itu. Mereka begitu terlena dalam pusaran materialisme hingga sikap dan pandangan hidup mereka senantiasa diwarnai cara pandang materialistis.
Itu menjadi salah satu sebab mengapa dakwah Rasulullah SAW tidak mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Mereka tidak peduli kepada dakwah Rasulullah SAW bukan karena apa yang beliau sampaikan tidak masuk akal atau karena Rasulullah SAW adalah orang yang tidak bisa dipercaya, tetapi karena Rasulullah SAW bukan dari golongan kaya dimana kala itu. Klan Hasyim, keluarga Rasulullah, sedang menurun pamornya. Kaum kafir Makkah hanya ingin mendengarkan kata-kata dari mereka yang berharta. Jadi, begitu kuat pesona harta benda hingga ia mampu menutup cahaya Ilahi (hidayah).
Oleh karenanya, ada beberapa hal yang mesti dicamkan oleh umat Islam dalam menyikapi harta benda,diantaranya harta sesungguhnya merupakan anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Tidak semua orang mendapatkan kepercayaan dari Allah SWT untuk memikul tanggung jawab amanah harta benda. Karenanya, ia harus disyukuri sebab jika mampu memikulnya, pahala yang amat besar menanti.
Kemudian harta adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Setiap kondisi, entah baik atau pun buruk yang kita alami sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, dan mesti kita hadapi secara baik sesuai dengan keinginan yang memberi amanah. Harta benda yang dititipkan kepada kita juga demikian. Di balik harta melimpah, ada tanggung jawab dan amanah yang mesti ditunaikan.
 "Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar".
Ketahuilah, bahwa pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Begitu sebaliknya, karena harta merupakan mutlak milik Allah, maka dalam memperoleh atau dalam hal mencari harta atau kekayaan, halal dan haram wajib menjadi perhatian utama. Sebab banyak orang sering lupa sehingga yang haram menjadi halal. Apalagi diketahui Indonesia adalah merupakan satu negara terkorup di dunia padahal mayoritasnya ummat Islam. Karena ingin kaya, banyak ummat Islam memilih jalan pintas dengan korupsi, mendapat komisi, dan sebagainya.
Banyak pejabat yang tidak mau kerja kecuali jika diberi uang padahal sebetulnya itu memang pekerjaan yang harus dia kerjakan. Rasulullah SAW berkata: ”Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (Shahih Muslim No.5261)
Dari Umar bin Khottob ra dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh SAW bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Bukhari-Muslim)
Jadi niatkan semua untuk Lillahi ta’ala. Bukan yang lainnya seperti dunia atau harta. ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi” [Al Qashash:77] ”Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” [Al Israa’:18]
Allah mengingatkan kita bahwa akhirat lebih baik dan kekal dari dunia karena manusia memang cenderung pada dunia hingga banyak yang lupa akan akhirat: ”Sungguh hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada dunia” [Adh Dhuhaa:4] ”Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” [Al A’laa:17

 http://shirotoljannahtravel.blogspot.com